KEWAJIBAN MENGANGKAT PEMIMPIN SATU PAKET DENGAN SISTEMNYA (Ngaji Khilafah Kepada Mbah Fadhal Senori. Part III)
Oleh: Kyai Utsman Zahid bin Ismail as-Sidani
Ada sebagian orang mengatakan: “Yang wajib
adalah mengangkat imam, bukan menegakkan khilafah.” Artinya,
menurut mereka, maqalah-maqalah fuqaha dan ulama terkait dengan wujûb nashb al-imâm (kewajiban
mengangkat seorang imam) tidak ada korelasi yang bersifat
koheren.
Kata mereka, yang dimaksud oleh
para fuqaha dan ulama ketika membahas kewajiban mengangkat pemimpin adalah
pengangkatan pemimpin dalam sistem apapun; bisa kerajaan, bisa monarki, seperti
halnya bisa juga dalam sistem Khilafah.
Sebelumnya saya pernah menulis singkat, yang pada
intinya bahwa memaknai maqalah-maqalah para ulama dan fuqaha seperti disinggung
di atas adalah bentuk tadhlîl (penyesatan), ghisysy
(penipuan/pemalsuan/manipulasi), dan mengeluarkan kalam para ulama dari konteks
yang mereka bicarakan.
Pada tulisan singkat tersebut saya simpulkan bahwa maqalah-maqalah
ulama atau fuqaha tersebut berkenaan dengan pengangkatan seorang KHALIFAH atau
IMAM dalam sistem KHILAFAH atau IMAMAH, bukan sistem yang lain.
Pada tulisan ini, saya akan ulas bagaimana Syekh
Abul Fadhal Senori, guru dari guru saya, menjelaskan tentang “Nashb al-Imâm” dalam konteks
sistem Khilafah atau Imamah, di dalam kitab beliau ad-Durr al-Farîd fi Syarh
Jauharah at-Tauhîd, pada saat beliau mensyarah bait Imam Ibrahim
al-Laqqani:
وواجب نصب إمام عدل # بالشرع فاعلم لا بحكم العقل
“Dan wajib
mengangkat seorang Imam yang adil. Hal ini berdasar pada hukum syara’, bukan akal.”
Jauh sebelum ini, saya juga pernah sedikit mengulas
tentang Khilafah dari kitab ini.
Saat mensyarah
bait di atas, Syekh Abul Fadhal menulis sebagai berikut:
1- هذا شروع في بيان الإمامة
1. (bait) ini mulai menjelaskan tentang IMAMAH.
2- والإمام ذو الإمامة
2. Imam (yg dimaksud pada bait di atas) adalah seorang yang memiliki
(baca: menduduki jabatan) IMAMAH.
Qultu: Mengapa saya terjemahkan “menduduki jabatan Imamah”? Hal ini untuk menegaskan bahwa IMAMAH
di sini adalah sebuah jabatan kepemimpinan yang bersifat khas, bukan sembarang kepemimpinan. Sebab, di sinilah biasanya
sebagian orang ‘nakal’ bermain, kemudian mengartikan: “Bahwa yang dimaksud IMAM dalam kalam fuqaha
adalah pemimpin dalam sistem apa saja, karena imam adalah dzul imâmah (orang yang memiliki kepemimpinan). Presiden, raja,
dan sebagainya adalah para Imam, karena mereka adalah orang yang
memiliki kepemimpinan. Dan di Indonesia sudah ada presiden, artinya sudah ada
IMAM. Artinya kita sudah melaksanakan kewajiban sebagaimana
pada bait di atas.”
Apakah benar demikian? Jelas tidak. Karena IMAM
yang dimaksud di sini bukan sembarang pemimpin, tetapi pemimpin dalam sistem
khas yang disebut dengan Khilafah atau Imamah. Karena itu, Syekh Abul Fadhal
mengatakan:
والإمام ذو الإمامة
“IMAM adalah
pemilik (baca: pemangku) (jabatan) IMAMAH”
+++++
Atas dasar apa saya mengartikan IMAMAH di sini
sebagai jabatan khas? Jawabannya adalah penjelasan Syekh Abul Fahdal berikut:
3- وهي رئاسة عامة في الدين والدنيا خلافة عن النبي صلى الله عليه
وسلم
3. IMAMAH adalah kepemimpinan umum dalam masalah dunia dan agama sebagai
pengganti (tugas) Nabi صلى الله عليه وآله
وسلم.
==========
Dalam kaitanya dengan hal ini, ada tiga poin
penting yang perlu saya garis bawahi:
Pertama, sifat
kepemimpinan dalam sistem IMAMAH adalah bersifat umum, yakni bagi seluruh kaum
Muslim di dunia. Ini ditegaskan sendiri oleh Syekh Abul Fadhal pada perkataan beliau
berikut:
وأجمع المسلمون على أنه لا يصح أن يكون لهم في عصر واحد خليفتان، لما يجره ذلك
من التنافس والتباغض اللذين هما سبب الخسران والوبال. وكفى بما حصل للمسلمين منذ تفرقت
كلمتهم وتعدد سلطانهم مانعا من ذلك. فإن عدوهم تمكن من أن يتصنع لأحدهم ليستعين به
على الآخر. فكان ملوك الروم يتقربون من ملوك أندلس ليكونوا لهم ردأ مانعا من تعدي العباسيين.
وصارت الحال تتقهقر من سيء إلى أسوأ حتى زمننا هذا.
Kaum Muslim telah sepakat bahwasanya tidak
dibenarkan adanya dua khalifah bagi kaum Muslim dalam satu masa. Sebab, hal itu
akan mengantarkan pada persaingan dan permusuhan yang menjadi sebab utama
kerugian dan kerusakan. Apa yang terjadi pada kaum Muslim sejak kesatuan mereka
terkoyak dan kekuasaan mereka terbelah kiranya cukup sudah cukup menjadi
pencegah (bagi orang yang berakal). Sebab, (dalam kondisi yang demikian itulah)
musuh dapat memperdaya pada salah satu penguasa Muslim untuk melawan penguasa
Muslim yang lain; di mana para raja Romawi mendekati penguasa Andalusia agar
menjadi penghalang serangan Abbasiyah. Akhirnya, keadaan pun beralih dari yang
buruk menjadi semakin memburuk, hingga masa kita ini.
Sifat khas pada kepempinan yang dijelaskan oleh
Syekh Abul Fadhal -sebagaimana dijelaskan oleh para ulama yang lain - jelas
tidak terpenuhi pada sistem-sistem pemerintahan yang ada di dunia saat ini,
termasuk di negeri ini.
Dengan kata lain, jelas bahwa IMAM yang dimaksud
oleh para fuqaha dan dikatakan wajib diangkat bukanlah pemimpin dalan sistem
pemerintahan yang ada saat ini. Tegasnya, suksesi kepemimpinan (nashb al-imâm)
yang ditulis oleh para ulama di dalam kitab-kitab fiqih dan kitab-kitab Kalam,
termasuk kitab ini, bukanlah suksesi seorang presiden dalam sistem Republik,
melainkan suksesi IMAM atau Khalifah dalam sistem Khilafah atau Imamah.
Kalau pun pada tataran rincian ada sebagian kecil
-saya tegaskan KECIL- ulama yang membolehkan adanya dualisme IMAM, itu pun
dianggap sebagai pandangan yang syadz oleh al-Mawardi di dalam al-Ahkâm
as-Sulthâniyyah, dan dianggap batil oleh an-Nawawi di dalam Syarah Shahih
Muslim. Dan harus dicatat bahwa alasan para ulama yang mendukung pendapat syadz
atau batil ini adalah demi terlaksananya hukum Allah, mengingat pada zaman
mereka belum ada transportasi dan sarana telekomunikasi yang canggih seperti
saat ini. Jadi pendapat sebagian kecil ulama ini ada dua catatan penting:
(1) Demi tegaknya hukum Allah,
(2) Tidak mungkin saling menjangkaunya dua pemimpin
(karena sarana yang belum memadai saat itu).
Kedua, sifat
kepemimpinan dalam sistem IMAMAH (yang dijelaskan di dalam kitab-kitab) adalah
kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia. Dalam istilah al-Mawardi, hirâsah
ad-dîn (menjaga agama) dan siyâsah ad-dunyâ bih (mengatur dunia
dengan agama). Poin ini pernah saya uraikan panjang lebar pada kesempatan yang
lain.
Pada poin ini jelas Negara Bangsa saat ini tidak
masuk sama sekali, baik dari tataran filosofis maupun praksis. Secara filosofis,
negara-negara bangsa yang ada saat ini berdiri di atas Sekularisme (pemisahan
agama dari kehidupan). Dari sisi praksis, nampak agama diperlakukan sedemikian
rupa. Ada aturan-aturan agama yang dipakai memang, tapi ranahnya individu atau
ritual. Atau diberikan perhatian jika sekiranya menguntungkan. Jadi, sebenarnya
bukan karena iman terhadap agama. Keimanan Negara Bangsa adalah pada
Sekularisme, bukan pada Islam.
Ketiga, sifat
kepemimpinan ini ada untuk menggantikan tugas Kenabian. Apa itu? tidak lain
adalah mengemban risalah Islam dengan cara menerapkan semua hukum-hukum Islam
di dalam negeri dan mendakwahkan Islam ke luar negeri. Sifat ini juga tidak
kita jumpai pada negara bangsa manapun yang ada saat ini.
Nah, itulah pengertian IMAM yang dimaksud oleh para
ulama di mana mereka mengatakan wajib adanya IMAM. Bukan sembarang pemimpin
dengan sembarang sistem.
========
Setelah penjelasan di atas, Syekh Abul Fadhal
kemudian menjelaskan dalil-dalil mengapa wajib mengangkat IMAM. Beliau mengatakan:
4- فإذا عرفت ذلك فاعلم أن نصب الإمام العدل واجب على المسلمين
لإجماع الصحابة بعد وفاة النبي صلى الله عليه وسلم حتى جعلوه أهم الواجبات
وقدموه على دفنه.... الخ.
Jika anda sudah mengetahui hal itu, maka ketahuilah bahwa mengangkat
IMAM yang adil adalah wajib bagi kaum Muslimin karena adanya ijma’ sahabat pasca wafatnya Nabi صلى الله عليه وآله وسلم dan mereka menjadikannya sebagai kewajiban terpenting, bahkan
mendahulukan urusan ini daripada memakamkan jenazah Nabi صلى الله عليه وآله وسلم.... .
++++++
Mungkin ada yg mengatakan: Yang disebut-sebut Syekh Abul Fadhal adalah
Imamah, bukan Khilafah. Yang disebut-sebut adalah Imam, bukan Khalifah. Jadi
tidak dapat disimpulkan bahwa Syekh Abul Fadhal berbicara tentang Khilafah. Beliau
hanya bicara tentang Imamah, yang artinya kepemimpinan. Jadi, tidak benar
memaknai ungkapan beliau di atas sebagai penjelasan tentang pengangkatan
pemimpin dalam sistem Khilafah!!!
Ada yang mengatakan demikian, meski sebenarnya tidak layak dijawab,
karena hanya menunjukan kebodohannya, namun kapan lagi dia akan terentaskan
dari kebodohannya jika tidak dijawab. Oleh sebab itu, secara khsus Syekh Abul
Fadhal menegaskan:
5- إذا عرفت ذلك فاعلم أن الإمامة قد تسمى خلافة. والإمام قد يسمى خليفة.
5. Jika anda telah mengerti hal itu, maka ketahuilah bahwa IMAMAH
disebut juga KHILAFAH dan IMAM disebut juga KHALIFAH.
Simpulan
Dari penjelasan di atas, sangat tidak mungkin mengartikan suksesi
kepemimpinan (nashb al-imâm) yang dijelaskan
di dalam kitab-kitab fuqaha dan ulama, termasuk kitab Jauharah at-Tauhîd yang disyarah oleh Syekh Abul Fadhal ini dengan
sembarang kepemimpinan dalam sembarang sistem. Sebaliknya, suksesi kepemimpinan yang
dibahas oleh para ahli fiqih dan para ulama di dalam kitab-kitab mereka tiada lain adalah SUKSESI
Khalifah dalam sistem KHILAFAH. Tidak ada yang lain.
Oleh sebab itu, aqwâl para ulama
tentang sukesi tersebut adalah bukti bahwa penegakan KHILAFAH adalah wajib!!!
Mana ada suksesinya jika sistemnya tidak ada?!!!
Diedit pada 27 Februari 2023 03.51 WIB
Editor: Ivan S Amhar
Komentar
Posting Komentar